
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah bisnis sirkular dan startup hijau semakin sering terdengar di Indonesia. Dari pengelolaan sampah, fesyen berkelanjutan, hingga pangan ramah lingkungan, berbagai inisiatif bermunculan dengan narasi optimistis: menyelamatkan lingkungan sambil menciptakan bisnis yang menguntungkan.
Namun di balik antusiasme tersebut, tidak sedikit startup hijau yang akhirnya berhenti beroperasi, berganti model bisnis, atau berjalan di tempat tanpa arah skala yang jelas. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: jika bisnis sirkular disebut sebagai masa depan, mengapa banyak startup hijau justru gagal bertahan?
Artikel ini tidak bermaksud menyalahkan pelaku usaha atau meragukan konsep ekonomi sirkular. Sebaliknya, tulisan ini mengajak pelaku UMKM melihat lebih jernih berbagai mitos yang sering melekat pada bisnis sirkular di Indonesia, sekaligus memahami realitas usaha yang kerap luput dari narasi besar tentang keberlanjutan.
Ketika Ide Baik Bertemu Realitas Pasar
Sebagian besar startup hijau lahir dari niat yang baik. Ada kepedulian terhadap lingkungan, keinginan mengurangi limbah, dan harapan menciptakan dampak sosial. Namun niat baik tidak selalu cukup untuk menjaga bisnis tetap hidup.
Di lapangan, usaha tetap berhadapan dengan persoalan mendasar: biaya operasional, perilaku konsumen, arus kas, dan konsistensi permintaan. Banyak startup hijau mampu menciptakan solusi yang inovatif, tetapi kesulitan memastikan bahwa solusi tersebut benar-benar dibutuhkan dan bersedia dibayar oleh pasar. Dari titik inilah berbagai mitos bisnis sirkular mulai terlihat jelas.
Mitos 1: Bisnis Sirkular Pasti Lebih Mudah Laku
Mitos yang paling sering muncul adalah anggapan bahwa label “ramah lingkungan” otomatis membuat produk lebih mudah dijual. Kenyataannya, mayoritas konsumen Indonesia masih sangat sensitif terhadap harga dan kenyamanan.
Nilai keberlanjutan memang menarik, tetapi sering kali bukan faktor utama dalam keputusan membeli. Produk yang lebih mahal, kurang praktis, atau sulit diakses tetap akan kalah, meskipun membawa pesan lingkungan yang kuat. Tanpa keunggulan nyata bagi konsumen, narasi hijau saja jarang cukup untuk menopang penjualan.
Mitos 2: Konsumen Siap Membayar Lebih Mahal
Sebagian bisnis sirkular dibangun dengan asumsi bahwa konsumen bersedia membayar lebih demi produk berkelanjutan. Pada segmen tertentu, asumsi ini bisa berlaku. Namun untuk pasar yang lebih luas, realitasnya jauh lebih kompleks.
Harga premium hanya bisa diterima jika manfaatnya terasa langsung. Tanpa itu, bisnis akan terjebak di ceruk pasar yang terlalu sempit. Banyak startup hijau akhirnya kesulitan bertumbuh karena volume penjualannya tidak cukup besar untuk menutup biaya operasional jangka panjang.
Mitos 3: Dampak Lingkungan Bisa Menggantikan Model Bisnis
Tidak sedikit startup hijau yang terlalu percaya bahwa dampak lingkungan dapat menutupi kelemahan model bisnis. Padahal, dampak dan keberlanjutan finansial adalah dua hal yang harus berjalan bersamaan.
Bisnis tanpa arus kas yang sehat, struktur biaya yang realistis, dan strategi pasar yang jelas akan tetap rapuh—sebesar apa pun dampak yang diklaim. Dalam banyak kasus, fokus pada pengukuran dampak justru mengalihkan perhatian dari efisiensi operasional yang krusial.
Mitos 4: Teknologi Hijau Selalu Menjadi Jawaban
Teknologi sering diposisikan sebagai solusi utama dalam bisnis sirkular. Aplikasi, mesin, dan sistem digital dianggap sebagai kunci untuk mencapai skala.
Namun teknologi juga membawa biaya, kompleksitas, dan kebutuhan edukasi pasar yang tinggi. Tidak sedikit startup hijau mengembangkan solusi yang terlalu maju dibanding kesiapan penggunanya. Akibatnya, adopsi berjalan lambat sementara biaya terus meningkat. Dalam konteks Indonesia, solusi yang sederhana, adaptif, dan sesuai kebiasaan lokal sering kali justru lebih berkelanjutan.
Mitos 5: Skala Besar Harus Dikejar Sejak Awal
Dorongan untuk segera tumbuh besar juga menjadi jebakan. Banyak startup hijau langsung membidik skala nasional sebelum model bisnisnya benar-benar matang.
Padahal, bisnis sirkular sangat bergantung pada konteks lokal—mulai dari sumber bahan, perilaku konsumen, hingga pola distribusi. Ketika skala dikejar terlalu cepat, risiko operasional meningkat sementara fondasi usaha belum cukup kuat.
Baca juga: Strategi UMKM Masuk Ekonomi Sirkular 2026: Modal Minim, Peluang Bisnis Maksimal
Ketika Mitos Bertemu Realitas: Cerita dari Lapangan
Untuk melihat persoalan ini lebih konkret, kita bisa menengok ilustrasi pelaku usaha di lapangan. Nama berikut merupakan samaran, tetapi situasinya mencerminkan pola yang cukup sering terjadi.
Tono menjalankan usaha tas dari sisa kain industri. Konsepnya sangat sirkular, tetapi proses produksi yang rumit membuat harga jualnya tinggi. Konsumen mengapresiasi ceritanya, namun penjualan harian belum cukup kuat menopang biaya operasional. Nilai keberlanjutan belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi nilai pasar.
Andre mengembangkan layanan pengolahan sampah organik berbasis aplikasi. Solusinya canggih dan menjanjikan dampak besar, tetapi pengguna belum terbiasa menggunakannya secara rutin. Biaya teknologi dan edukasi pasar tinggi, sementara tingkat adopsi berjalan lambat. Masalahnya bukan pada ide, melainkan kesiapan ekosistem.
Sementara itu, Tiwi mengelola usaha fashion yang menerima pakaian bekas untuk dijahit ulang dan dijual kembali. Minat konsumen ada, dampak lingkungannya nyata, tetapi struktur harga dan pencatatan biaya belum rapi. Pesanan datang, namun margin sangat tipis sehingga usaha sulit berkembang.
Ketiga cerita ini menunjukkan satu hal penting: praktik sirkular bisa berjalan, tetapi bisnisnya masih rapuh jika tidak ditopang model usaha yang sehat.
Jadi, Apa yang Sebenarnya Membuat Banyak Startup Hijau Gagal Bertahan?
Jika dirangkum, kegagalan banyak startup hijau bukan disebabkan oleh konsep ekonomi sirkularnya, melainkan oleh kesenjangan antara idealisme dan realitas bisnis. Banyak usaha terlalu cepat berbicara tentang masa depan, tetapi kurang membumi dalam memahami kondisi pasar hari ini.
Bisnis sirkular membutuhkan kesabaran, efisiensi, dan pendekatan bertahap. Tanpa itu, narasi keberlanjutan justru berpotensi menjadi beban, bukan keunggulan.
Baca juga: Pasar Karbon dan Peluang Lapangan Kerja Baru untuk UMKM di Indonesia
Pelajaran Penting bagi UMKM Indonesia
Bagi UMKM, fenomena ini menyimpan pelajaran penting. Bisnis sirkular tidak harus dimulai dari ide besar atau teknologi mahal. Banyak praktik sirkular sebenarnya sudah lama dilakukan UMKM—memperbaiki barang, menggunakan ulang bahan, atau memaksimalkan produk sisa—hanya saja belum diposisikan sebagai strategi usaha.
Keberlanjutan bisnis tetap harus menjadi prioritas. Dampak lingkungan sebaiknya tumbuh dari proses usaha yang sehat, bukan menggantikan logika bisnis itu sendiri. Di sinilah UMKM memiliki keunggulan: fleksibel, adaptif, dan dekat dengan pasar.
Baca juga: Tren Bisnis Rendah Emisi: Kenapa UMKM Perlu Paham Pasar Karbon Mulai Sekarang?
Bisnis Sirkular Bukan Jalan Pintas
Bisnis sirkular bukan jalan pintas menuju kesuksesan. Ia bukan solusi instan, apalagi jaminan keuntungan cepat. Justru sebaliknya, pendekatan ini menuntut disiplin operasional dan kesabaran yang lebih tinggi.
Namun ketika dijalankan secara realistis, bisnis sirkular dapat menjadi fondasi usaha yang lebih tahan terhadap perubahan pasar, fluktuasi harga, dan tekanan eksternal lainnya.
Membicarakan kegagalan startup hijau bukan berarti meragukan masa depan ekonomi sirkular di Indonesia. Justru refleksi ini penting agar pelaku usaha—termasuk UMKM—tidak terjebak pada mitos yang menyesatkan. Yang sering gagal bukanlah konsep bisnis sirkularnya, melainkan cara menerjemahkannya tanpa pijakan usaha yang kuat. Di tengah tantangan ekonomi dan lingkungan yang semakin kompleks, bisnis sirkular tetap relevan—selama dibangun dengan logika bisnis yang sehat, bertahap, dan berpijak pada realitas pasar.
Jika artikel ini bermanfaat, mohon berkenan bantu kami sebarkan pengetahuan dengan membagikan tautan artikelnya, ya!
Bagi Sahabat Wirausaha yang ingin bergabung dengan Komunitas UMKM di bawah naungan kami di UKMIndonesia.id - yuk gabung dan daftar jadi anggota komunitas kami di ukmindonesia.id/registrasi. Berkomunitas bisa bantu kita lebih siap untuk naik kelas!









